Imam At-Tirmidzi (209-279 H)
Nama
lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah
bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits
kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di
kota Tirmiz.
Perkembangan dan Perjalanannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru
lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin
Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar,
Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu
‘Isa aat-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits,
kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat
dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat
hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu
Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu
Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya
Para
ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan
dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus
hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau
orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata:
“Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun
kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para
ulama.”Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan;
Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits
yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan
kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub
dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat
dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu
luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya,
keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits
yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam
Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang
mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal
sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa
mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan
kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya
mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat
berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai
penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah
mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan
kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari
al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam,
bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang)
yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu
dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah
pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan
sebagai berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang
dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia
menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil)
itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak
dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i,
Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta
seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka
baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka
memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan:
“Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak,
maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini
adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang
dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak
ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya)
itu.”
Itulah
salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa
cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadits,
serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab
ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling
banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab
Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini
terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang
juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang
popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam
Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih
semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan
mu’allal dengan menerangkan kelemahannya. Dalam pada itu, ia tidak
meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan
atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan
cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua
hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih
ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang
sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan,
bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini
adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu
menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya,
tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika
ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah
dia.” Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian.
Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda
pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama
berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah
selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu
Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu
Munzir.
Hadits-hadits
da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya
menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan
kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi
(meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar
dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan
haram.
Disalin dari Biografi Tirmidzi dalam Kutubus Sittah;Abu Syuhbah no.83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar