Tampilkan postingan dengan label Adab dan Akhlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adab dan Akhlak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Juli 2025

Perintah Membaca dalam Al-Qur’an dan Hadits

 

Membaca bukan hanya sekadar kegiatan akademik, tetapi dalam Islam, ia adalah bentuk ketaatan. Ketika seorang muslim atau muslimah membaca Al-Qur’an, hadits, tafsir, atau kitab para ulama dengan niat untuk mencari ridha Allah, maka ia sedang beribadah. Ini pula yang membedakan membaca dalam Islam dengan membaca dalam sekadar konteks duniawi.

A. Membaca dalam Al-Qur’an

1.    Surah Al-‘Alaq (96) ayat 1–5

Islam menjadikan membaca sebagai pondasi utama dalam membangun peradaban. Hal ini terlihat dari ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ.  الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” [QS. Al-‘Alaq (96) ayat 1–5]

Ayat ini mengandung berbagai bentuk penekanan terhadap pentingnya ilmu dan membaca. “Iqra’” diulang dua kali, menunjukkan betapa mendasarnya aktivitas ini. Allah juga menyebutkan “qalam” (pena), yang menjadi simbol ilmu dan dokumentasi, serta menyebutkan bahwa Allah mengajarkan manusia hal-hal yang sebelumnya tidak ia ketahui.

2. Surah Az-Zumar: 9

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” [QS. Az-Zumar (39): 9]

Ayat ini menunjukkan keutamaan ilmu bahwa tidaklah sama antara orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Dan membaca adalah merupakan sarana untuk mendapatkan ilmu. Maka hendaknya seorang muslim dan muslimah bersemangat untuk mendapatkan ilmu yaitu dengan semangat belajar dan gemar membaca.

3. Surah Al-Mujadilah (58) ayat 11

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” [QS. Al-Mujadilah (58): 11]

Orang-orang yang berilmu memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, dan ilmu itu diperoleh melalui belajar dan membaca.

B. Hadits-Hadits tentang Membaca dan Menuntut Ilmu

1. Hadits tentang Kewajiban Menuntut Ilmu

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [Shahih, HR. Ibnu Majah, No. 224]

Hadits ini menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban. Dan prosesnya diawali dengan membaca dan belajar.

2. Hadits tentang Keutamaan Orang Berilmu

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Alloh, maka akan dipahamkannya dalam urusan agama.” [HR Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037]

Jika Allah menghendaki kebaikan pada seseorang, maka akan dipahamkan dalam urusan agama islam. Kepahaman terhadap islam akan didapat dengan mempelajarinya dan membaca ilmu-ilmu keislaman.

3. Hadits tentang Malaikat Membentangkan Sayapnya

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًى بِمَا يَصْنَعُ

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang ia lakukan.” [Hasan Shahih, HR. Abu Dawud no. 3641]

C. Budaya Membaca pada Zaman Nabi

Nabi biasa membaca al-Quran secara rutin setiap harinya. Demikian pula para sahabat, mereka biasa mengkhatamkan al-Quran dalam jangka waktu tertentu. Mereka biasa membacakan ayat-ayat Al-Quran kepada kerabat, teman, dan orang-orang yang mereka jumpai. Seringkali pula mereka membaca ayat-ayat tertentu secara berulang-ulang, baik di kala shalat ataupun dalam keseharian.

Bukan hanya tentang Al-Quran, hadits nabi pun juga biasa mereka bacakan kepada keluarga, sahabat maupun orang lain. Tak jarang mereka saling mengingatkan antara satu sama lain tentang hadits nabi shallallahu alaihi wasallam. Demikian pula mereka biasa membacakan dan mengajarkan hadits kepada generasi setelahnya.

Nabi sangat menganjurkan dan memotivasi para sahabatnya agar gemar menulis dan membaca. Diantara yang menunjukkan hal itu ialah Nabi menjadikan tebusan tawanan perang Badar diantaranya agar mengajari membaca dan menulis kepada anak-anak kaum muslimin. Bagi tawanan perang yang tidak mampu membayar tebusan, namun dia bisa membaca dan menulis maka mereka diminta untuk mengajari anak-anak kaum muslimin agar bisa membaca dan menulis. Padahal mereka masih tetap dalam keadaan kafir, dan yang diajari adalah anak-anak kaum muslimin. Hal ini menunjukkan pentingnya belajar membaca dan menulis bagi seorang muslim dan muslimah.


Downloan PDF: Pentingnya Membaca bagi Seorang Muslim dan Muslimah

Sabtu, 12 Juli 2025

Pendahuluan (Buku Pentingnya Membaca bagi Seorang Muslim dan Muslimah)


Membaca adalah jendela ilmu, dan ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan. Tidaklah mungkin seseorang memahami agamanya, mengenal Tuhannya, atau menapaki jalan kebenaran tanpa membaca. Dalam sejarah Islam, membaca adalah langkah awal dari seluruh pergerakan dakwah dan peradaban. Kata pertama yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan perintah untuk shalat, zakat, atau jihad, melainkan perintah untuk membaca.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” [QS. Al-‘Alaq (96) ayat 1]

Inilah bukti nyata bahwa membaca dalam Islam bukan sekadar aktivitas tambahan, akan tetapi merupakan ibadah dan perintah ilahiyah. Dengan membaca, seorang muslim dan muslimah membuka pintu untuk mengenal Rabb-nya, memahami syariat-Nya, mengetahui halal haram, memahami akhlak yang mulia dan menjalani hidup dengan panduan yang benar.

Sayangnya, di tengah kemajuan teknologi dan kemudahan informasi, budaya membaca mulai terpinggirkan. Banyak kaum muslimin, terutama generasi muda, lebih tertarik pada hiburan visual yang cepat dan instan daripada meluangkan waktu untuk membaca dan merenung. Padahal, kejayaan umat ini hanya dapat diraih jika kembali kepada ilmu, dan ilmu tidak akan bisa dikuasai tanpa belajar dan membaca.

Ulama-ulama besar sepanjang sejarah Islam adalah orang-orang yang gemar membaca. Mereka rela menghabiskan waktu, harta, bahkan tenaga hanya untuk membaca dan mencari ilmu. Imam Nawawi, misalnya, tidak menikah dan tidak terlalu memperhatikan dunia demi mencurahkan seluruh waktunya untuk membaca dan menulis. Ibnu Qayyim berkata tentang gurunya, Ibnu Taimiyyah: “Kitab-kitab adalah makanan, minuman, dan hiburan beliau.”

Maka, tujuan buku ini adalah ikut berpartisipasi untuk mengajak kembali umat Islam, dari kalangan tua maupun muda, untuk menghidupkan kembali tradisi membaca sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Membaca bukan hanya alat untuk memperkaya ilmu, tetapi juga sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Buku ini akan mengajak Anda untuk memahami pentingnya membaca dalam pandangan Islam, disertai dalil-dalil yang kuat, kisah inspiratif para ulama, serta langkah-langkah praktis untuk memulai dan menjaga semangat membaca.

Semoga dengan hadirnya buku ini, setiap pembaca dapat mengambil pelajaran, semangat, dan inspirasi untuk kembali menjadikan membaca sebagai bagian dari ibadah dan kebiasaan hidup sehari-hari.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” [QS. Al-Mujadilah (58) ayat 11]

Senin, 07 Juli 2025

KEMUNGKARAN DALAM SILATURRAHMI



Silaturrahmi adalah amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam islam. Namun, seperti banyak amal lainnya, ibadah ini bisa ternodai jika tidak dilakukan dengan benar. Banyak orang menyangka bahwa cukup dengan berkunjung atau berkirim pesan, itu sudah cukup disebut silaturrahmi. Padahal, jika dilakukan dengan niat salah atau diiringi perilaku buruk, silaturrahmi justru bisa berubah menjadi ajang dosa dan kemungkaran.

Berikut ini adalah beberapa kemungkaran dalam silaturrahmi yang wajib dijauhi oleh setiap muslim:

A.  Silaturrahmi Karena Dunia, Bukan Karena Allah

Silaturrahmi seharusnya dilakukan karena Allah ta’ala, bukan karena kepentingan duniawi seperti bisnis, jabatan, pengaruh, atau hanya demi pencitraan sosial.

Jika niat tidak ikhlas, maka pahalanya bisa gugur dan akan terasa sakit jika tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai denga apa yang diniatkan.” [HR Bukhari no. 1, Muslim no. 1907]

Bersilaturrahmi ke pejabat atau orang kaya hanya karena berharap proyek. Mengunjungi kerabat hanya Ketika sedang butuh bantuan, tetapi menghilang saat mereka kesulitan. Ini adalah bentuk silaturrahmi yang tidak murni karena Allah dan tidak mencerminkan ukhuwa yang sebenarnya.

B.  Ghibah (Menggunjing) Dan Membicarakan Aib Orang

Silaturrahmi kadang dimanfaatkan sebagai ajang ngobrol Panjang lebar. Celakanya, percakapan sering melebar menjadi ajang ghibah atau membicarakan aib orang lain yang tidak hadir.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا اْلغِيْبَةِ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wallam bersabda: “Taukah kalian ap aitu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.” Seseorang bertanya: “Bagaimana jika yang aku katakana itu benar-benar ada pada saudaraku?” Beliau menjawab: “Jika memang ada padanya, berarti engkau telah mengghibahinya. Namun jika tidak ada padanya, berarti engkau telah memfitnahnya.” [HR Muslim 2589]

C.  Namimah (Adu Domba)

Mengunjungi kerabat lalu membawa kabar dari satu pihak ke pihak lain yang justru memecah belah atau menimbulkan permusuhan adalah suatu kemungkaran.

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba (namimah).” [HR Bukhari no. 6056, Muslim no. 105]

D.  Pamer Dunia Dan Ujub

Kadang orang yang bersilaturrahmi justru menjadikan momen itu sebagai ajang memamerkan kekayaan, jabatan, anak-anaknya yang sukses, atau pencapaiannya. Bisa pula dengan memposting di media social secara berlebihan untuk menunjukkan siapa yang paling sering bersilaturrahmi, paling dekat dengan tokoh, dan lain-lain.

Ini bisa menimbulkan iri hati orang lain, rasa rendah diri dari yang tidak punya, serta ujub dan sombong dari yang pamer. Riya’ (pamer amal) adalah syirik kecil yang bisa merusak amal, bahkan bisa menjadikan amal sia-sia di sisi Allah.

E.  Menghina Dan Mencela Kerabat

Kadang silaturrahmi justru menjadi momen menyindir, membuka aib lama, atau menghina pilihan hidup kerabat. Sehingga silaturrahmi yang seharusnya mempererat ikatan persaudaraan, justru bisa menjadi retak dan terputusnya tali persaudaraan.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ. كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia meremehkan saudaranya Muslim. Setiap muslim atas muslim yang lainnya adalah haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” [HR Muslim no. 2564]

F.   Menunda Atau Memutus Silaturrahmi

Sebagian orang menunda-nunda bahkan memutus hubungan silaturrahmi karena hal sepele: beda pendapat, beda pilihan politik, atau hanya karena kesalahpahaman.

عن أبي أيوب الأنصاري رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ ثَلَاثَ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا. وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ

Dari Abu Ayub al-Anshari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu lalu saling berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang pertama kali mengucapkan salam.” [HR Bukhari no. 6077, Muslim no. 256]

G. Campur Baur Antara Laki-Laki Dan Perempuan Tanpa Hijab

Di banyak acara keluarga atau reuni, sering terjadi ikhtilat (percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Tanpa hijab dan tanpa Batasan. Ini bisa mengarah pada pandangan haram, sentuhan haram, bahkan perselingkuhan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan …” [QS An-Nur (24): 30]

H. Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis

Tradisi salam-salaman saat lebaran atau acara keluarga seringkali menyebabkan jabat tangan antara pria dan Wanita yang bukan mahram.

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدُ امْرَأَةٍ قَطٌّ إِلَّا امْرَأَةَ يَمْلِكُهَا

Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anh, ia berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menyentuh tangan perempuan sama sekali, kecuali perempuan yang menjadi miliknya (istri atau budak). [HR Bukhari no. 7214, Muslim no. 1866]

I.     Silaturrahmi Dihiasi Dengan Kemaksiatan

Silaturrahmi hendaknya tidak diiringi dengan kemaksiatan, sehingga silaturrahmi benar-benar mendatangkan kebaikan dan keberkahan. Bukan malah sebaliknya, niatnya silaturrahmi namun justru mendatangkan keburukan dan kerusakan.

Meskipun judulnya “Silaturrahmi”, namun jika isinya maksiat, hukumnya haram dan tidak berpahala.

J.    Tidak Menjaga Adab Dalam Silaturrahmi

Seorang muslim hendaknya senantiasa berusaha berhias dengan akhlak yang baik dalam segala urusannya, termasuk ketika bersilaturrahmi. Diantara akhlak yang baik ialah tidak masuk rumah kecuali memberi salam dan diizinkan, bertutur kata yang baik lagi sopan, dan tidak berlama-lama tanpa perasaan apalagi sampai larut malam.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًۭا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌۭ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian masuk rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam  kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” [QS AN-Nur (24): 27] 

K. Silaturrahmi hanya dengan kerabat tertentu saja

Sebagian orang hanya menyambung silaturrahmi dengan keluarga atau kerabat yang membalas hubungan baiknya. Jika tidak dibalas, makai a pun memutuskan hubungan dan tidak lagi menyambungnya Kembali.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ اْلوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ اْلوَاصِلَ الَّذِيْ إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Bukanlah orang yang silaturrahmi itu yang membalas (kebaikan kerabat), akan tetapi yang benar-benar menyambung silaturrahmi adalah orang yang tetap menyambung Ketika silaturrahmi diputus olehnya.” [HR Bukhari no. 5991]

Silaturrahmi bukan hanya untuk mereka yang baik kepada kita. Seorang mukmin sejati berusaha menyambung silaturrahmi meski diputus, berbuat baik meski dibalas dengan keburukan, dan melakukannya karena mengharap ridha Allah, bukan karena sikap manusia.

Kamis, 29 Mei 2025

“Ealah Tibake Ishik Dulur Dewe”

“Ealah Tibake Ishik Dulur Dewe”

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita dibuat terkejut oleh kenyataan yang tak terduga. Salah satunya ketika kita menyadari bahwa orang yang selama ini menjadi lawan, pesaing, atau bahkan musuh dalam diam ternyata adalah orang dekat kita sendiri. Dalam bahasa Jawa, momen ini sering diungkapkan dengan kalimat, “Ealah tibake ishik dulur dewe,” yang berarti, “Loh, ternyata malah saudara sendiri.”

A.   Makna di Balik Ungkapan

Ungkapan ini bukan sekadar ekspresi keheranan. Ia menyimpan makna yang dalam tentang hubungan manusia. Kadang, dalam berbagai persoalan, baik itu urusan pekerjaan, bisnis, bahkan masalah pribadi, kita terlalu fokus pada permasalahan yang ada hingga lupa melihat siapa sebenarnya yang terlibat. Kita hanya tahu ada masalah, tapi tidak sadar bahwa biang keladinya ternyata berasal dari lingkaran terdekat.

Entah itu saudara kandung, teman sepermainan sejak kecil, rekan kerja yang sudah lama dikenal, atau bahkan tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri. Ketika semuanya terbongkar, kita hanya bisa menghela napas dan berkata, “Ealah... tibake dulur dewe.”

B.    Mengapa Bisa Terjadi?

Ada beberapa alasan mengapa hal seperti ini bisa terjadi:

1.     Perbedaan Kepentingan

Tak bisa dipungkiri, kepentingan pribadi sering membuat seseorang melupakan kedekatan yang ada. Saat ada uang, jabatan, atau pengaruh yang diperebutkan, hubungan kekeluargaan bisa terkalahkan oleh ambisi.

2.     Kurangnya Komunikasi

Kadang, masalah muncul bukan karena niat jahat, tetapi karena miskomunikasi. Tanpa adanya komunikasi yang baik, kecurigaan dan salah paham bisa berkembang menjadi konflik.

3.     Rasa Iri dan Dendam Lama

Mungkin ada perasaan iri yang dipendam sejak lama. Atau ada kejadian di masa lalu yang belum tuntas. Tanpa disadari, perasaan ini bisa memicu tindakan negatif bahkan terhadap orang terdekat.

4.     Keterlibatan Pihak Ketiga

Tidak jarang pula, pihak ketiga memanfaatkan situasi dan membenturkan dua pihak yang sebenarnya memiliki hubungan dekat. Ketika emosional sudah naik, logika sering tertinggal.

C.   Dampaknya Tidak Main-main

Saat kita tahu bahwa penyebab masalah adalah orang dekat sendiri, rasanya lebih menyakitkan. Rasa kecewa, marah, dan bingung bercampur jadi satu. Kepercayaan yang sudah dibangun lama bisa runtuh dalam sekejap. Bahkan, hubungan yang dulunya harmonis bisa pecah dan sulit disatukan kembali.

Dalam banyak kasus, konflik ini bisa merembet ke anggota keluarga atau kelompok yang lebih luas, membuat suasana makin rumit.

D.   Belajar dari Kejadian

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari ungkapan “Ealah tibake ishik dulur dewe”?

1.     Jangan Mudah Berprasangka

Dalam menghadapi masalah, usahakan untuk tidak buru-buru menyimpulkan. Telusuri dulu dengan kepala dingin.

2.     Bangun Komunikasi yang Baik

Komunikasi yang baik adalah kunci menguatkan ikatan silaturrahmi. Jika ada masalah, lebih baik diselesaikan secara langsung dan terbuka serta jangan lupa disertai niat yang baik untuk perbaikan dan kebaikan.

3.     Jadilah Pribadi yang Pemaaf

Suka memaafkan adalah karakter yang baik, sehingga Ketika terjadi permasalahan yang bisa meretakkan hubungan kekerabatan tidak sampai berlarut-larut.

4.     Jaga Silaturahmi, Tapi Tetap Punya Batas

Menjaga tali silaturrahmi mereupakan suatu kebaikan dan keharusan. Namun, kedekatan tidak selalu menjamin kebaikan. Kita tetap perlu menjaga batas dan menjaga diri agar tidak membawa malapetaka diantara hubungan keluarga.

E.    Penutup

“Ealah tibake ishik dulur dewe” adalah cermin bahwa hidup ini penuh kejutan. Kadang yang kita anggap teman bisa jadi lawan, dan yang kita kira jauh ternyata sangat dekat. Inilah diantara pentingnya menjaga tali seduluran, sehingga meminimalisir ungkapan “Ealah tibake ishik dulur dewe”. Semoga tulisan ini bermanfaat. (Abu Hisyam Liadi)

Kamis, 11 Januari 2024

SIKAP ORANG BERIMAN TERHADAP PERSELISIHAN


Perbedaan adalah sunnatulloh yang mesti terjadi. Berbagai latar belakang dan sebab yang mendasarinya. Sampai pun di zaman terbaik dari umat ini, para sahabat pernah berselisih dalam memahami larangan Rosululloh Shallallahu alaihi wasallam berupa sholat di Bani Quroidhoh. Ternyata Rosululloh shallallahu alaihi wasallam tidak mempermasalahkan keduanya. Jika itu terjadi di kalangan para sahabat, maka sangat wajar jika terjadi pada generasi kita saat ini. Namun sebagai seorang yang beriman hendaknya bersikap yang bijak dalam menghadapi perselisihan karena sebagian perselisihan diperbolehkan dan sebagiannya lagi terlarang. 

Secara umum berbagai macam perbedaan itu bisa ditinjau dari beberapa segi :

1. Dari sisi perbedaan itu sendiri

Ikhtilaf dan perbedaan ada 2 macam, yaitu:

a. ikhtilaf tanawwu’

Yaitu khilaf yang hanya menunjukkan keragaman tanpa ada pertentangan. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan ash-shirotol mustaqim dalam surat alfatihah. Ada yang menafsirkan alquran, islam, assunnah, dan al-jamaah. Semua pendapat  ini benar dan tidak bertentangan dengan maksudnya. Misal lainnya: berbagai macam dzikir saat ruku’, sujud, istiftah, dan sebagainya.

Perbedaan yang seperti ini tidaklah tercela, namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab saling bermusuhan, tidak saling menyapa, atau bentuk-bentuk kezholiman yang lainnya.

b. ikhtilaf tadhod

Yaitu perbedaan yang saling bertentangan antara satu dan yang lainnya. Semisal perbedaan antara keimanan dan kekufuran, ketakwaan dan kemaksiatan, Sunnah dan penyimpangannya, dan seterusnya. Maka sikap orang yang beriman adalah mengikuti kebenaran dan meninggalkan kebathilan.

2. Macam khilaf menurut sikap kita terhadapnya

Dari sisi ini khilaf terbagi menjadi 2, yaitu: khilaf mu’tabar dan khilaf ghoiru mu’tabar.

a. Khilaf mu’tabar

Maknanya khilaf yang dianggap, karena sama-sama memiliki dalil yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya: apakah makmum dibelakang imam yang sholatnya dikeraskan, masih membaca alfatihah atau tidak? Sholat shubuh, ada qunut atau tidak? Dan sebagainya. Maka sebagai seorang yang beriman dalam menghadapi khilaf yang demikian harus berlapang dada dan tidak menjadikannya masalah untuk saling bermusuhan.

b. Khilaf ghoiru mu’tabar

Maknanya khilaf yang tidak dianggap. Mungkin karena ini bukan ranah ijtihadiyah atau mungkin tidak ada dalil yang mendasarinya, atau mungkin ada tapi sangat lemah atau bahkan palsu. Khilaf ini adalah perbedaan yang terjadi antara ahlul haq dan ahlil bathil. Adapun sikap orang beriman jelas, yaitu mengikuti kebenaran dan menghindari kebatihan. 

3. Sikap kita terhadap khilaf yang mu’tabar

a. Kita yakin bahwa perbedaan dari mereka bukan karena menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang bisa diterima. Mungkin karena dalil belum sampai kepadanya, atau mungkin karena lupa, atau bedanya tingkat pemahaman, dan sebagainya.

b. Mengikuti pendapat yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan alquran dan Sunnah.

c. Wajib tetap menghormati para ulama yang berselisih

d. Wajib berlapang dada dalam menghadapi khilaf yang mu’tabar

e. Tidak mengapa dialog secara ilmiah untuk mencari kebenaran dan yang lebih kuat.

f. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih besar dan menutup pintu perselisihan, maka perkara Sunnah bisa ditinggalkan untuk sementara waktu demi maslahat persatuan ummat atau maslahat lainnya yang lebih besar.

Sebagaimana Sahabat Ibnu Mas’ud mengingkari kholifah Utsman saat beliau sholat seperti  ketika bermuqim (tidak qoshor) ketika bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap sholat di belakang Utsman dengan tidak mengqoshor dan mengikuti kholifah. Ibnu Mas’ud berkata, “Perselisihan itu jelek”. [Shohih, HR Abu Dawud 1960]

Kesimpulannya:

Hendaknya seorang yang beriman bersikap bijak dalam menghadapi perselisihan. Bisa membedakan mana yang tanawwu’ dan mana yang tadhod. Seandainya tadhod, mana yang mu’tabar dan mana yang ghoiru mu’tabar. Sehingga bisa menyikapinya dengan tepat dan bijaksana.

Semoga bermanfaat!

Free Ebook Panduan Menegakkan Sholat


#Panduanmenegakkansholat #sholat #belajarsholat